Senin, 19 September 2016

Aku tak pernah mengeluh. Kecuali tentang kamu.

Aku tak pernah mengeluh. Kecuali tentang kamu.

Tentang kamu yang pernah melukiskan pelangi tanpa hujan.

Tentang kamu yang menjadi syair terdendang setiap hari.

Tentang kamu yang sengaja mengetuk, ucapkan salam sembari membawa buah tangan, lalu aku persilahkan duduk.

Kamu tidak perlu menjadi tamu, untuk kusajikan kudapan dan kopi, bicara sebentar lalu pergi.
Atau menjadi seorang kurir, pengantar barang tanpa pengirim, meminta tanda tangan, kemudian bergerak ke rumah lainnya.

Bisakah kamu kembali? Ke rumah yang tadi. Disana masih ada aku berdiri di balik pagar.
Atau jangan-jangan kamu lupa. Lupa ada yang tertinggal masih tergenggam.

Aku tak pernah mengeluh. Kecuali tentang kamu.

Tentang kamu yang setiap harinya kuceritarakan pada semesta.
Sejak hari itu.
Sejak kau mengetuk pintu

Pamulang, 19 September 2016.
Sehabis langit meringis hingga menangis.

Selasa, 02 Februari 2016

Datanglah tepat waktu

Untuk kantuk yang suka datang tidak tepat waktu.


Kita ini sering tidak sepadan. Aku mau tidur, kau tak kunjung datang.


Datanglah saat jam 10 malam. Aku butuh bangun setengah jam sebelum adzan berkumandang.
Datanglah saat aku lelah. Karena pergi seharian.
Datanglah saat jam istirahat siang. Aku butuh tidur meski hanya 10 menit.
Datanglah di saat yang tepat, jangan tiba-tiba ataupun terlambat.


Saat pagi, harusnya kau sudah pergi, tapi malah betah nempel di muka bantalku. Aku terpaksa mengusirmu, tapi tetap saja kau selalu yang berkuasa.
Jangan datang saat aku sedang sibuk dengan hobiku, kalau kau tak mau kucaci maki.
Jangan datang saat aku sendiri dalam mobil. Niat sekali kau membunuhku sadis.
Jangan datang saat aku bertemu Tuhanku. Pasti itu perintah setan.
Jangan datang saat aku baca buku. Bisakah kau biarkan aku sedikit lebih pintar?
Jangan datang saat aku selesai makan. Kau penyebab terbesar tubuhku yang sekarang gempal.
Jangan datang saat aku nonton tv. Bisa-bisa malah aku yang ditonton tv.
Jangan datang sekarang! Suratku belum selesai.


Jadilah sebuah rasa yang professional. Yang datang dengan permisi, pamit saat pergi.



aku tahhhhu kau mmulai datang  ..

Senin, 01 Februari 2016

Bisa, kan?

Kepada cinta yang belum bertemu...


Jika nanti kita bertemu, bisakah kita saling berdiam? Beberapa detik saja, membiarkan waktu menikmati kegirangannya atas hasil jerih payahnya selama ini.
Jika nanti kita bertemu, bisakah kita saling bertatap? Tanpa kata, tanpa suara. Membiarkan jantung sibuk menata detaknya yang mulai tak beraturan, tidak karuan.
Jika nanti kita bertemu, bisakah kita kemudian saling melempar senyum? Tanpa harus tertawa terbahak. Membiarkan aroma tubuhku dan tubuhmu saling mengenal, kemudian menyatu, akrab.

Jika nanti kita bertemu, berhasil berdiam, bertatap dan saling melempar senyum. Bolehkan kita mulai bicara? Tanpa topik dan teori. Biar saja kata-kata absurd, random atau konyol menjadi terdengar lebih manis dan romantis.

Saat kita bicara, mungkinkah kita lupakan sejenak, bagaimana lelahnya mencari dan menunggu, bagaimana susahnya mengumpulkan rasa sabar, bagaiman repotnya menutup telinga rapat-rapat dari bisingnya polusi omongan orang.

Bukankah kita sudah disini, bertemu, dan suatu saat akan menjadi "kembali"? Yang tanpa sengaja membuat daun-daun cemburu dan burung-burung yang mencoba menggoda. Bahkan gerimis malu mengganggu.


Sayang...
Jika nanti kita bertemu, bisakah kau katakan,
"Antarkan aku pada ayahmu. Aku ingin menculik putri sulungnya dengan cara yang paling santun".

Minggu, 31 Januari 2016

SURAT SUKA

Kepada kamu yang sedang mungkin sedang mengatur nafas pelan-pelan. Suruh siapa berlari-lari di fikiranku siang dan malam, pagi dan sore. Eh, maaf aku gombal. Kamu sudah makan?


Bisa bicara sebentar? Ada gumpalan tanya yang (sepertinya) perlu kamu jawab.
Siap?

Apa rasanya menjadi orang yang namanya kusebut setiap hari? Lebih dari lima kali sehari. Tersedakkah? Aku harap tidak. Karena kalau iya, aku pasti khawatir setengah mati.
Bagaimana rasanya kenal aku? Manusia yang sok peduli. Tapi sungguh, aku betul-betul peduli.
Sudahkah kamu dengar angin membisikimu, "Dapet salam dan rindu"?. Asal kamu tahu, itu dari aku dan atas perintahku.
Kalau suatu hari nanti, saat aku benar-benar berani, saat hilang semua rasa malu, saat tekad sudah kubentuk menjadi bulat sempurna, saat kata "suka" itu meluncur tanpa roda, menghembus tanpa suara. Apa reaksimu?

Aku suka kamu. Seperti sukanya ulat kepada pucuk daun teh.
Aku suka kamu. Seperti sukanya pagi kepada embun.
Aku suka kamu. Seperti sukanya malam kepada bulan.
Aku suka kamu. Kamu yang seperti kamu. Tanpa perlu jadi setampan Liam Hemsworth. Tanpa harus sejenius Bapak B.J Habibi. Tanpa mesti jadi sekaya Mark Zuckerberg.
Aku suka kamu.


Sudah sesuka itu aku padamu.
Lalu, bisakah kamu percaya?

Jumat, 29 Januari 2016

Mau Langsing

Kepada Engkau yang (mungkin) sedang menertawakanku, atau hanya tersenyum, geli.
Kepada Engkau yang (mungkin) saat ini sedang berkata, "Tak perlu kau kirim surat neng, apalagi sampai dipublikasikan. Itu sungguh-sungguh tak perlu".
Kepada Engkau yang sebenarnya sudah tahu apa saja isi surat ini, bahkan sebelum huruf-huruf terbentuk menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi do'a.
Kepada Engkau yang ada dan selalu ada, sambil menontonku menulis surat, mendengar setiap kata. Dan aku, malu. Sungguh-sungguh malu.
Kepada Engkau, yang sampai kapanpun tak terbayangkan. Walau aku percaya, Engkau pasti ada.


Aku mungkin akan menuliskan hal konyol, tapi percayalah ini serius, tidak bercanda.


Tuhan, aku mau langsing. Tanpa harus diet enggak makan gorengan dan es cendol. Tanpa harus lari keliling komplek setiap pagi. Tidak mesti seperti Miranda Kerr atau Atiqah Hasiholan. Apalagi macam model-model Victoria Secret. Cukuplah badan ini cukup untuk dipakaikan kembali dress-dress lucu punyaku yang dulu. Atau minimal, cukuplah supaya orang-orang tak ada lagi yang bilang, "Kamu sehat banget kayanya", "Kamu bahagia ya sekarang". Dan jawabanku untuk mereka adalah, "Ya. Aku sehat wal'afiat. Lahir dan batin.", "Yaiyalah aku bahagia. Dunia dan akhirat".

Aku mau langsing. Biar rasanya tidak alergi melihat timbangan di kolong lemari. Biar angka-angka besar di timbangan tidak rebutan untuk unjuk gigi saat aku naiki. Biar proses timbang-menimbang tidak seperti proses lelang. Makin membesar, kemudian berhenti sampai yang berani paling besar. Ah, besar.

Aku mau langsing. Agar saat foto tak perlu sibuk atur posisi badan. Agar saat selfie tak usah berpura-pura meniruskan pipi. Agar aplikasi edit foto itu tak terlihat menarik bagiku.

Aku mau langsing. Dengan caraku sendiri. Tak usah menahan makan martabak dan bakso.
Aku mau langsing. Tahun ini. Mulai bulan ini juga boleh.
Aku mau langsing. Dengan do'a yang kuucapkan tanpa habis.

Aku mau langsing. Boleh kan ya Tuhan...?