Pendahuluan
Walaupun
semua agama membahas masalah ekonomik, namun mereka tetap berbeda pandangan
tentang kegiatan-kegiatan ekonomi. Beberapa agama tertentu memandang
kegiatan-kegiatan ekonomi manusia hanya sebagai kebutuhan hidup yang seharusnya
dilakukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan makanan dan minuman semata. Namun,
Islam menganggap kegiatan-kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu aspek
dari pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi ini.
Karakter agama Islam
yang paling kuat adalah fungsi sistem dan penataan. Dengan demikian, Islam
memiliki sistem yang berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia;
individu, keluarga, sosial, pendidikan, budaya, ekonomi, politik, militer dan
di atas aspek semua itu, ia juga menata aspek spiritual dari kehidupan manusia.
Sistem ekonomi Islam
mengakui hak seseorang untuk memiliki apa saja yang dia inginkan dari
barang-barang produksi, misalnya, ataupun barang-barang konsumsi. Selain itu
juga mengakui kepemilikan umum. Dalam hal ini, ekonomi Islam memadukan antara
maslahat dan individu, agar tercipta keseimbangan dan keadilan dalam
masyarakat.
Islam pun memberikan
kebebasan bagi setiap individu untuk memiliki, memproduksi dan mengkonsumsi,
selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Setiap individu juga
memiliki kebebasan untuk mengelola dan mengembangkan hartanya dengan cara yang
baik, tetapi harus meninggalkan praktik perdagangan yang diharamkan.
Dengan kata lain,
sistem ekonomi Islam jelas sangat berbeda dengan sistem ekonomi lainnya. Sistem
ekonomi Islam berusaha memecahkan masalah ekonomi dengan cara menempuh jalan
tengah antara pola yang ekstrem, yaitu kapitalis dan sosialis. Singkatnya,
ekonomi Islam adalah sistem yang berdasar pada al-qur’an dan hadits yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia dan akhirat.
Pembahasan
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini bukan hanya untuk
menyembah kepadaNya. Tetapi juga, manusia dijadikan sebagai khalifah (wakilNya)
untuk memanfaatkan kekayaan yang ada di bumi. Namun kekayaan dan pendapatan itu
tidak hanya berputar dan menumpuk pada orang-orang tertentu dan itu-itu saja.
Kekayaan dan pendapatan itu harus didistribusikan ke tengah-tengah masyarakat.
Itulah instrumen penting untuk membinasakan ketidak adilan memeratakan kekayaan
bumi.
Seperti pada firman Allah:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan
Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang bersal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumanNya.” (Qs. 59:7)
Ayat tersebut mengutarakan, penting bagi masyarakat dan pemerintah
agar harta itu tidak beredar dan dimiliki oleh satu kelompok kecil orang saja,
sedangkan orang lain hidup dalam kemiskinan dan kekurangan.
Dalam Islam agar distribusi pendapatan dan harta kekayaan dapat
terbagi secara adil, maka instrumennya tidak hanya dipegang oleh mekanisme pasar
saja, tetapi juga dikelola oleh mekanisme non pasar. Seperti melalui zakat,
infaq dan sedekah melalui keterlibatan dan partisipasi negara, misalnya dalam
bentuk subsidi dan lain-lain.
Ziaudin Ahmad mengatakan, agar tercapai “ Pemerataan yang adil, Islam
tidak mengandalkan badan pemerintahan sendiri, tetapi mencoba untuk
mengaktifkan kesadaran moral manusia untuk bertindak adil tarhadap sesamanya
dan menolong orang-orang yang membutuhkan dengan semangat persaudaran yang
universal”
Dari pernyataan di atas dapat dilihat perbedaan antara konsep sistem
ekonomi Islam dengan sistem ekonomi sosialis, kapitalis dan welfare state. Jika
dalam sistem ekonomi sosialis, pemecahan persoalan pemerataan pendapatan barada
di tangan negara. Sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalis, diserahkan kepada
mekanisme pasar (individu). Sementara dalam welfare state diserahkan kepada
mekanisme pasar (individu) dan tanggung jawab negara. Maka, dalam Islam semua tugas terpikul secara
simultan pada tiga pihak, yaitu mekanisme pasar (individu), masyarakat dan negara.
Selain memiliki nilai-nilai dasar, filosofis dan
normatif, sistem ekonomi Islam juga memiliki nilai-nilai instrumental.
Nilai-nilai inilah yang mempengaruhi tingkah laku ekonomi seorang muslim dan
masyarakat pada umumnya. Jika nilai ini terlaksana, maka akan terwujud sistem
ekonomi yang seimbang, menguntungkan dan menyejahterakan semua pihak. Nilai ini
juga yang membuat sistem ekonomi Islam kuat dan merupakan jalan tengah antara
kapitalisme dan sosialisme. Nilai-nilai itu adalah zakat, larangan riba,
jaminan sosial, kerjasama ekonomi atau kemitraan, serta peranan negara.
- Zakat
Zakat merupakan salah satu instrument penting untuk terciptanya
keadilan dan keseimbangan serta kebersamaan di tengah-tengah masyarakat yang
telah ditetapkan syara’. Zakat adalah bagian dari harta yang harus dikeluarkan
oleh seorang muslim bila harta mereka telah sampai nishab dan sudah memenuhi
ketentuan-ketentuyan yang telah ditetapkan syara’.
Seperti firman Allah:
“ Dan dirikanlah
sholat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi
dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-baqarah: 110)
Sedangkan mengenai peruntukan dan pengalokasian serta ukuran zakat
itu sendiri, Allah telah menjelaskan dalam firmanNya berikut ini:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, sabilillah (yang
berjuang di jalan Allah), dan untuk mereka yang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (Qs. 9 : 60)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang berhak menerima
zakat ada delapan golongan yaitu :
- Orang fakir : Orang yang amat
sengsara hidupnya, tidak mempunyai tenaga dan harta untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
- Orang miskin : Orang yang
tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
- Pengurus zakat (amil) : Orang
yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagi zakat.
- Muallaf : Orang kafir yang
ada harapan untuk masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam sedang
imannya masih lemah.
- Memerdekakan budak (hamba sahaya) :
Mencakup juga untuk membebaskan muslim yang ditawan oleh orang kafir.
- Orang berhutang (gharim) :
Orang yang berhutang dan bukan untuk maksiat, sedang ia tidak sanggup
untuk membayarnya. Jika orang tersebut berhutang untuk memelihara
persatuan umat Islam, maka hutangnya dibayar dengan zakat sekalipun ia
mampu membayarnya.
- Sabilillah : Orang yang berjuang
untuk pertahanan Islam dan kaum muslimin. Sebagian ahli tafsir mengatakan,
fisabilillah termasuk juga untuk kepentingan-kepentingan umum seperti,
sekolah, masjid dan lain-lain.
- Ibnu sabil : Orang yang melakukan
perjalanan bukan untuk maksiat dan mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya.
Sedangkan berdasarkan nash-nash, ada empat golongan mengenai harta
yang wajib dizakatkan, yaitu:
- Emas, perak dan laba perdagangan.
Besar zakatnya adalah 2,5 %.
- Ternak dan hewan domestik lainnya.
- Hasil pertanian. Besar zakatnya
yaitu sepersepuluh untuk tanah yang diairi secara alamiah (misal, hujan)
dan seperduapuluh untuk yang diairi dengan sarana buatan (irigasi) sehingga
pemiliknya memerlukan usaha tambahan.
- Barang tambang dan harta rampasan.
Besarnya yaitu, seperlima dari jumlah yang didapat oleh orang yang
mengusahakannya.
Seiring zaman yang semakin modern, menyebabkan hal-hal baru semakin
berkembang termasuk konsep harta benda. Muhammad Abdul Mannan berpendapat
bahwa, “ benda-benda seperti mesin perindustrian, uang kertas, laba profesi dan
perdagangan kini dikenakan zakat”.
Di awal masa Islam, zakat selain sebagai sumber
pendapatan negara juga berfungsi dan berperan sebagai sarana dan instrumen
utama untuk menciptakan keadilan sosial, politik dan ekonomi. Jadi jelaslah bahwa zakat memiliki makna,
arti dan manfaat lain seperti:
- mendorong
terjadinya pendistribusian pendapatan dan kekayaan, sehingga kebutuhan
pokok terpenuhi dan kesenjangan ekonomi bisa dikurangi.
- Secara
langsung ataupun tidak, akan ada pengaruh nyata terhadap tingkah laku
konsumsi umat. Menghanguskan pertentangan kelas yang disebabkan oleh
pendapatan yang tajam.
- Meningkatkan
produktifitas dan daya beli masyarakat. Membendung inflasi bila dikelola
secara produktif.
Selain itu, zakat dapat dilihat dampak positifnya
dari berbagai bidang.
- Dalam
Bidang Investasi
Perintah berzakat mendorong manusia untuk menginvestasikan
kekayaannya, karena dengan itu hartanya tersebut tidak akan terkena zakatnya. Selain
itu, adanya alokasi zakat untuk fakir miskin akan mendorong dan meningkatkan
daya beli mereka sehingga para produsen meningkatnya produksinya.
- Lapangan
Kerja
Meningkatnya permintaan hasil produksi, membuat
para produsen memerlukan tenaga tambahan. Tenaga tambahan itu dapat berupa
penambahan tenaga kerja baru, sehingga pengangguran tentu berkurang.
- Pengurangan
Kesenjangan Sosial
Perintah berzakat kepada orang-orang kaya akan
mengurangi kesenjangan sosial dan membuat kehidupan ekonomi semakin membaik.
- Pertumbuhan
Ekonomi
Orang miskin yang mendapat zakat akan mengalami
kenaikan pendapatan dan daya beli. Produsen pun meningkatkan produksinya
sehingga keuntungannya pun ikut meningkat. Sesuai
dengan teori, jika keuntungan pengusaha meningkat maka savingnya juga
meningkat. Sehingga kemampuan investasinya ikut meningkat. Membuat kebutuhan
akan tenaga kerja juga meningkat. Hingga akhirnya pengangguran berkurang.
Secara teoritis, kriminalitas akan berkurang, maka stabilitas akan meningkat.
- Jaminan Sosial
Al-qur’an telah
memberikan sinyal bagi manusia untuk memiliki rasa peduli dan tolong-menolong
kepada sesamanya. Seperti dalam ayat berikut:
“ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi yang lainnya. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasulNya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(Qs. At-Taubah: 71)
Dari ayat tersebut,
jelas sekali bahwa seorang muslim tidak boleh hanya mementingkan kepentingannya
sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain. Tidak ada seorang individu pun
yang terancam eksistensi jiwanya karena kekurangan atau kemiskinan dalam
masyarakat Islam.
Komponen nilai
instrumental jaminan atau pengeluaran sosial, menurut AM. Saefuddin, terdapat
dalam prinsip-prinsp yang telah digariskan oleh agama, yaitu:
- Keuntungan dan beban sebanding
dengan manfaat.
- Tidak ada saling membebankan
kerusakan atau biaya-biaya eksternal.
- Manfaat dari segala sumber harus
dapat dinikmati oleh semua makhluk-makhluk Allah.
- Pemerintah harus menyediakan uang
untuk menjamin kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi.
- Pengeluaran sosial adalah hak sah
dari orang-orang miskin dan malang.
- Kesearahan arus pengeluaran sosial
dari pihak yang kaya kepada yang miskin.
- Kesanggupan membayar sesuai
kemampuan untuk tujuan-tujuan bermanfaat.
- Prioritas untuk memenuhi tujuan
bermanfaat dan penting bagi masyarakat.
- Surplus pendapatan dan kekayaan
sebagai dasar perhitungan tagihan untuk tujuan bermanfaat dan pengeluaran
pribadi.
- Tingkat
pengorbanan dari pengeluaran sosial.
- Makin
besar surplus, makin tinggi angka pertumbuhan marginal dari pengeluaran
sosial.
- Mengeluarkan tenaga dan modal
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat adalah alasan hidup seorang muslim.
- Mengorbankan jiwa dan tenaga untuk
tujuan sosial sebagai pengganti pengorbanan uang.
- Kebijaksanaan yang konsisten
dengan cita-cita pemerataan pendapatan dan kekayaan secara adil dalam
rangka stabilisasi ekonomi dan pengalokasian dana.
- Pihak-pihak yang berhak mendapat
jaminan sosial.
- Motif dan pembenaran terhadap
pengeluaran sosial.
Dari penjelasan di
atas sangat nyata terlihat bahwa seorang individu dalam Islam mempunyai
kewajiban-kewajiban individual terhadap yang individu lainnya. Islam pun
mengajarkan tentang konsep kewajiban-kewajiban kolektif atau yang biasa disebut
fardhu kifayah. Konsep ini menuntut setiap individu untuk bertanggung jawab
selama kebutuhan tidak terpenuhi. Namun, jika telah dilaksanakan oleh beberapa
orang, maka gugurlah kewajiban-kewajiban tersebut.
- Larangan Riba
Riba ( الرّبا ) secara bahasa berarti, ziyadah ( الزّيادة-tambahan).
Secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut
istilah teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara bathil.
Allah berfirman mengenai hal ini:
“ Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman”. (Qs. Al-Baqarah: 278)
رَوَى
الْحَاكِمُ عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: الرِّباَ ثَلاَثَةٌ وَ
سَبْعُوْنَ باَباً اَيْسَرُهاَ مِثْلُ اَنْ يَنْكِحُ الرَّجُلُ اُمَّهُ
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi SAW bersabda,
“Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama
dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”
Dari ayat dan hadits tersebut jelas
sudah bahwa pelarangan riba adalah suatu hal yang mutlak terutama dalam ekonomi
Islam. Riba dapat diartikan sebagai tambahan yang berlipat-lipat dari
taransaksi bisnis yang tidak riil dan atau tanpa adanya suatu padanan yang
dibenarkan syariah.
Jenis-jenis Riba:
Secara garis besar riba
dapat dikategorikan dalam 2 kelompok, yakni riba dari uang-piutang dan riba
akibat jual beli. Berikut ini adalah jenis-jenis riba :
- Riba akibat utang-piutang terdiri
dari :
- Riba Qardh, yaitu suatu tambahan
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang;
- Riba Jahiliyyah, yaitu utang yang
dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang ditetapkan.
- Riba akibat jual beli, terdiri dari :
- Riba Fadhl, yaitu pertukaran barang
sejenis dengan kadar atau takaran berbeda dan barang yang dipertukarkan
termasuk dalam jenis barang ribawi.
- Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan atas
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan
jenis barang ribawi lainnya.
Menurut Yusuf Qardhawi, pengharaman riba dan atau bungas sangat terkait
dengan usaha “ mewujudkan persamaan yang adil di antara pemilik modal dengan usaha
serta memikul risiko dan akibatnya secara berani dan penuh tanggung jawab”hal
ini dipahami karena Islam menyeimbangkan posisi pemilik skill ataupun pemilik
modal.
Dalam bentuk korelasi, praktek riba atau bunga
berkorelasi dengan biaya produksi, harga, daya beli masyarakat, keuntungan
pengusaha, kemampuan saving, investasi, rekruitmen tenaga kerja, pengangguran,
kriminalitas dan stabilitas. Korelasi ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
Suku bunga↑ - Biaya produksi↑ - harga↑ - daya beli
masyarakat↓ - keuntungan pengusaha↓ - kemampuan saving pengusaha↓ - investasi↓
- rekruitmen tenaga kerja↓ - pengangguran↑ - kriminalitas↑ - stabilitas↓
Sebaliknya, jika suku bunga turun maka korelasi yang terjadi adalah
sebagai berikut :
Suku bunga↓ - biaya produksi↓ - harga↓ - daya beli
masyarakat↑ - keuntungan pengusaha↑ - kemampuan saving pengusaha↑ - investasi↑
- rekruitmen tenaga kerja↑ - pengangguran↓ - kriminalitas↓ - stabilitas↑
Dari penggambaran tersebut, sangat jelas bahwa riba
dan atau suku bunga sangat berkorelasi dengan masalah-masalah ekonomi, sosial
dan politik, dan tidak menimbulkan dampak positif.
Sebenarnya praktek riba juga dilarang dalam Taurat maupun injil, dan juga
sejak zaman peradaban Yunani Kuno. Konsep bunga menurut adam Smith pun berbeda
dari konsep bunga pada saat ini (kapitalisme modern). Adam Smith menyatakan
bahwa bunga adalah suatu simbol terima kasih atas nilai ekonomi dari suatu uang
yang dipinjamkan, karena uang tersebut dapat dihabiskan nilai ekonominya oleh pemilik
uang, namun sang pemilik menangguhkan nilai ekonomi uang tersebut karena untuk
dipinjamkan. Penangguhan nilai ekonomi tersebutlah yang
membuat pemilik uang berhak menerima bunga. Atau dapat dikatakan bahwa dalam
kapitalisme klasik menganut nilai ekonomi dari waktu, sedangkan padq
kapitalisme modern bunga didasari pada nilai waktu dari uang. Akhirnya uang
menjadi barang komoditas untuk diperdagangkan.
Meskipun ayat-ayat dan
hadits riba sudah sangat jelas dan shahih, namun masih saja ada beberapa cendikiawan
yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas bunga bank dengan alasan
berikut :
- Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
- Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku
bunga yang “wajar” dan tidak menzhalimi, diperkenankan.
- Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf.
Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
Dampak negatif riba dalam beberapa bidang:
- Dampak Ekonomi
Dalam bidang ini, riba
mengakibatkan adanya dampak inflatoir oleh bunga sebagai biaya uang.hal itu
disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga.
Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada
suatu barang. Dampak lainnya yaitu utang. Dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam
dan tingginya biaya bunga, menyebabkan pemihjam tidak keluar dari
ketergantungan, terlebih lagi jika bunga atas bunga tersebut dibungakan.
- Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan
pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan
uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan,
misalnya, dua puluh lima
persen lebih tinggi bila bunga atas utang itu dibungakan. Siapa yang bisa
menjamin bahwa usaha yang dijalankan orang itu akan mendapat keuntungan lebih
dari dua puluh lima
persen? Semua orang, apalagi orang yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak
bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Setiap usaha akan mengalami
dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah
memastikan bahwa usaha yang dijalankan pasti untung.
- Kerjasama Ekonomi atau Kemitraan
Monzer Kahf menyatakan
bahwa “Ekonomi Islam adalah
ekonomi yang bebas, tetapi
kebebasannya lebih banyak ditunjukkan dalam bentuk kerjasama dari pada bentuk
kompetisi (persaingan)”.
Sesuai dengan hakikatnya manusia sebagai makhluk
sosial, maka kerja sama adalah hal sangat yang dibutuhkan. Apa jadinya jika
seorang individu atau masyarakat hidup tanpa bantuan orang lain. Seperti yang
dikatakan Ibnu Khaldun, “ setiap individu tidak dapat dengan sendirinya
memperoleh kebutuhan hidupnya. Semua manusia harus bekerja sama untuk memperoleh kebutuhan hidup di
dalam peradabannya.”
Islam sangat menegaskan masalah kerjasama. Seperti firman Allah berikut:
“ Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’aar-syi’ar Allah, dan
janganlah kamu melanggar kehormatan bulan-bulan haram, janganlah mengganggu
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaaid, dan jangan pula
mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitullah sedang mereka mencari karunia
dan keridhoan Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjidil haram mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Bekerjasama dan saling tolong-menolonglah kamu dalam
kebaikan dan janganlah kamu bekerjasama dan tolomg menolong dalam hal dosa dan
permusuhan” (Qs. 5: 2)
AM. Saefuddin kembali mengutarakan implikasi dari kerjasama ekonomi ini
adalah “ tentu saja dalam pengambilan keputusan harus dilakukan secara
musyawarah untuk memperjuangkan kepentingan bersama di bidang ekonomi,
kepentingan Negara dan kesejahteraan umat”.
Jika hal tersebut sanggup terlaksanakan, akan ada makna yang sangat
besar untuk mendorong terciptanya kerja-kerja produktif sehari-hari di
tengah-tengah masyarakat. Karena, hal yang pada awalnya tidak bisa dilakukan,
namun karena dikerjakan bersama-sama dapat terwujud. Kemudian kesejahteraan
masyarakat akan meningkat. Kesenjangan sosial, penindasan ekonomi dan
distribusi kekayaan yang tidak merata mampu dicegah.
- Peran Negara
Islam membolehkan campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi. Karena, jika kegiatan ekonomi hanya
mengandalkan mekanisme pasar saja dapat beresiko fatal untuk kemaslahatan umum.
Kelemahan mekanisme pasar yaitu pasar selalu berpihak kepada orang yang kuat,
baik dari segi kapital, ilmu pengetahuan, teknologi maupun manajemen. Selain itu,
persoalan-persoalan ekonomi tidak bisa dilakukan hanya oleh mekanisme pasar
saja, tetapi juga dapat melalui mekanisme non-pasar.
Winardi menafsirkan, politik ekonomi adalah campur
tangannya pemerintah dalam proses ekonomi. Pemerintah tidak boleh menerima
begitu saja hasil proses ekonomi melainkan pemerintah juga harus berusaha untuk
mengadakan perubahan-perubahan tertentu. Bahkan negara atau pemerintah menurut
F. Isjwara merupakan faktor positif dalam perekonomian.
Keynes pun mengemukakan pandangannya, bahwa pasar
tidak dapat dibiarkan bebas sepenuhnya. Dalam batas-batas tertentu, intervensi
negara justru dibutuhkan terutama dalam upayanya untuk mendukung perekonomian
kembali pada posisi seimbang.
Para ahli membenarkan adanya peran pemerintah dalam
perekonomian dalam beberapa kondisi yaitu:
1.
Adanya kekuasaan monopoli dalam pasar.
2. Adanya transaksi pasar pada pihak ketiga selain pembeli dan penjual.
3.
Tidak adanya pasar untuk barang-barang dengan
marginal sosial benefit melebihi marginal sosial cost.
4.
Informasi yang tak lengkap.
5.
Stabilitasi perekonomian.
Selain
itu, ada beberapa alasan yang melatar belakangi diperbolehkannya Negara dalam
melakukan intervensi’ yaitu:
- Karena sudah ditetapkan sya’ra
secara tegas.
- Merupakan hasil ijtihad dari
para mujtahid.
- Merupakan hasil musyawarah atau
kesepakatan anggota masyarakat dan atau negara.
Adnan Khalid Al-Turkmani mengatakan, bentuk-bentuk keterlibatan
pemerintah dalam masalah ekonomi adalah sebagai perencana (mukhaththith),
pengurus (musyrif), pemberi arah (muwajjih), produsen (muntij) dan konsumen
(mustahlik).
Hal ini untuk tercapainya keadilan, kebebasan yang beretika,
persaudaraan dan kebersamaan serta keseimbangan dalam kehidupan ekonomi, maka
dalam Islam Negara atau pemerintah bisa:
- Membuat dan menggariskan
kebijakan-kebijakan dan haluan ekonomi Negara yang mengandung
rumusan-rumusan arah dan gerak ekonomi yang akan dilakukan.
- Mengawasi
kegiatan pelaku usaha supaya tidak ada pelanggaran.
- Mengarahkan
para pelaku ekonomi tentang apa-apa yang mereka perlu lakukan.
- Terlibat langsung dalam
kegiatan produksi atas dasar kepentingan umum.
- Terlibat dalam bentuk sebagai
konsumen.
Faktor-faktor keterlibatan Negara menurut Mahmud Abu Su’ud:
- Faktor tetap, yang berhubungan
dengan hak Allah dan hak masyarakat serta segala sesuatu yang sudah
ditetapkan oleh syara’ menyangkut hak-hak pribadi dari orang seorang.
- Faktor berubah-ubah, yang
berkaitan dengan tingkat kemajuan masyarakat.
Keterlibatan pemerintah dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu :
- Intervensi dalam Bidang
Pekerjaan
Dalam hal
kerja, pemerintah harus ikut campur tangan pada beberapa hal:
- Melarang pekerjaan yang secara
syar’i dilarang.
- Mengawasi pekerjaan yang
diperbolehkan oleh syara’.
- Pembatasan upah.
- Harga yang setara, melindungi
yang teraniaya.
- Intervensi dalam bidang
kepemilikan
Alasan
pemerintah melakukan intervensi dalam bidang ini adalah:
- Mencegah cara-cara dan
praktek-praktek berusaha yang terlarang dan dilarang agama.
- Mencegah pertukaran sesuatu
yang mengakibatkan kemadharatan bagi orang lain atau masyarakat.
- Mencegah tindakan yang
mengandung unsur penipuan.
- Pembatasan harga.
- Memaksa untuk membeli dan atau
menjual.
- Menata kehidupan ekonomi.
- Menjamin pelayanan umum.
- Mengelola kekayaan publik.
Daftar Pustaka
Abbas, Anwar, Dasar-Dasar Sistem Ekonomi
Islam, Jakarta
: Fakultas Syari’ah UIN Syahid Jakarta, 2009.
Antonio,
Muhammad syafi’i, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Huda, Nurul, Handi Risza, Mustafa Edwin,
Ranti Wiliasih, Ekonomi Makro Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2008.
Izzan, Ahmad, dan, Syahri, Tanjung, Referensi
Ekonomi Syariah (Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi), Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
Kahf, Monzer, Ekonomi Islam ( Telaah
Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1995.