Sejak awal, kebijakan fiskal sangat
mendapat perhatian yang serius dalam ekonomi Islam. Bukan hanya sebatas untuk
mengalihkan perekonomian agar lebih baik, tetapi juga berperan dalam
meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan,
intelektualitas, kekayaan, serta kepemilikan. Setidaknya, itulah yang
dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali.
Terdapat perbedaan yang cukup jelas
antara kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dengan konvensioanl. Jika dalam konvensional,
Pemerintah mengandalkan sistem pajak sehingga menimbulkan benefit maksimal bagi
individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan spiritual manusia. Selain
itu, fiskal dalam ekonomi ini diperlukan juga untuk mengoreksi
gangguan-gangguan yang memperlambat jalannya perekonomian akibat mekanisme
pasar.
Berbeda dengan konvensial, Islam
menawarkan fungsi fiskal dalam hal pemeliharaan hukum, keadilan, serta
pertahanan. Selain itu, berperan dalam perumusan dan pelaksanaan terhadap
kebijakan ekonomi. Dua fungsi lain yaitu, sebagai manajemen kekayaan pemerintah yang ada dalam BUMN dan juga
sebagai intervensi ekonomi oleh pemerintah jika sewaktu-waktu diperlukan.
Fiskal Dalam Sejarah Islam
Sejak masa pemerintahan Nabi
Muhammad, fiskal memiliki peranan penting dalam sistem ekonomi Islam. Akan
tetapi, pada periode pertama ini, tidaklah serumit sistem anggaran negara
modern saat ini, dan terkesan sederhana. Perbedaan ini disebabkan, karena
secara fundamental kondisi sosial ekonomi yamg terus mengalami perubahan.
Peran penting pada masa ini dimainkan
oleh Baitul Maal. Sebagai lembaga yang mengelola sumber penerimaan
maupun pengeluaran negara. Baitul maal hanya mendapat keuntungan dari
surplus yang tersisa dari keseluruhan biaya semua jasa setempat dan pembiayaan
kemiliteran. Lembaga ini menganut asas anggaran berimbang (balance budget),
bahwa semua penerimaan habis digunakan untuk pengeluaran negara. Jadi, anggaran
menjadi surplus ketika penerimaan melebihi pengeluaran. Begitupun sebaliknya
yang akan menyebabkan defisit.
Tidak jauh berbeda dengan sistem
ekonomi pada masa Rasululllah, maka Abu Bakar dalam pemerintahannaya
menggunakan prinsip kesamarataan. Prinsip ini digunakan terutama dalam hal
mendistri busikan harta baitul maal tanpa membedakan antara sahabat yang
lebih dahulu masuk Islam dengan yang masuk Islam kemudian. Baitul maal
akan langsung mendistribusikan harta kepada seluruh muslimin, sehingga harta
tersebut tidak pernah bertumpuk lama dan tidak memiliki sisa.
Dalam masa ini, tidak ada yang
dibolehkan hidup dalam kemiskinan. Kebijakan ini memunculkan peningkatan agregate
demand dan agregate supply yang menyebabkan kenaikan total
pendapatan nasional.
Agak sedikit berbeda dengan
sebelumnya, sebagai pengganti Khlalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dalam mengatur
administrasi negara mencontoh Persia. Yang diatur menjadi delapan wilayah
propinsi.
Pada periode ini, didirikanlah bangunan
lembaga baitul maal dan fungsinya diperluas menjadi lembaga yang regular
dan permanen. Hal ini juga dakibatkan oleh oleh kedatangan gubernur Bahrain,
Abu Hurairah yang membawa hasil pengumpulan pajak dalam jumlah besar.
Harta dalam baitul maal tidak
dikeluarkan secara langsung secara keseluruhan, akan tetapi dikeluarkan secara
bertahap sesuai dengan keperluan dan kemudian disisakan untuk cadangan. Jika
dipandang dari segi makro ekonomi, baitul maal dianggap sebagai
kebijakan fiskal yang juga bertanggung jawab atas orang miskin, para janda,
anak yatim dan lain-lain. Bahkan, dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada
masyarakat yang membutuhkan..
Disebutkan dalam buku an
introducton of the sharia ekonomic karya Mohamad Hidayat, dari sekian
banyak kebijakan serta pembaharuan yang dilakukan khalifah Umar, ada sepuluh
hal penting yang yang berhubungan dengan ekonimi dan fiskal, yaitu; Baitul
Maal, kepemilikan tanah, zakat, ghamimah, ‘usr, jizyah,
koin, klasifikasi pendapatan negara, pengeluaran dan mekanisme pasar.
Dengan tidak meninggalkan sistem baitul
maal, Khalifah Utsman bin Affan juga tetap mempertahankan sistem pemberian
bantuan dan santunan dalam bentuk sejumlah kepada masyarakat yang berbeda-beda.
Beliau juga menerapkan kebijakan dengan memberikan tanah kepada
individu-individu sebagai reklamasi dengan harapan agar baitul maal
dapat meningkatkan pemasukannya.
Kemudian, dalam masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib mengutamakan prinsip pemerataan distribusi. Beliau
juga mengembangkan aktivitas baitul maal. Pada periode ini, Ali mencetak
mata uang sendiri yang memiliki khas dengan tidak meniru dinar Romawi.
Kekuatan baitul maal yang
terjadi pada masa-masa Rasulullah maupun Khulafaurrasyidin, tidaklah terlepas
dari pemungutan zakat yang menjadi nilai instrumental sistem ekonomi Islam.
ZISWAF, dalam Posisi dan Fungsi
Menurut Abdul Manan, kebijakan fiskal
dalam konsep ekonomi Islam memiliki tujuan untuk
mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan
berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat
yang sama.
Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan
komponen yang memiliki potensi untuk mengentaskan kemiskinan, memeratakan
distribusi pendapatan, menciptakan stabilitas ekonomi yang harmonis serta
menimbulkan implikasi nyang baik untuk kehidupan di akhirat.
Tersebutlah sebuah instrumen penting
bersifat sukarela, zakat. Zakat juga merupakan
kebijakan fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Tujuan utama dari
kegiatan ini adalah menerapkan distribusi pendapatan yang merata. Sedangkan
konsep fiqh mengemukakan bahwa sistem zakat berusaha mempertemukan pihak
surplus muslim dengan pihak defisit muslim. Kelompok defisit disebut mustahik,
dan kelompok surplus adalah muzakki.
Sebenarnya, zakat merupakan sebuah
instrumen dengan potensi yang sangat besar sehingga menjadi kekuatan dalam
pemberdayaan ekonomi, dan sangat tidak mustahil berakhir dengan meningkatnya
perekonomian bangsa. Tentu saja jika dikelola dengan baik dan tepat. Apalagi,
jika ini dikombinasikan pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, harta
terpendam, barang tambang, kekayaan laut, peternakan, harta emas/perak, harta simpanan,
perdagangan, obligasi, investasi industri, dan lain sebagainya.
Tujuan lain dari zakat, yang sesuai
dengan pendapat Abdul Manan antara lain; membina tali persaudaraan sesama,
meningkatkan rasa tanggung jawab sosial serta menghilangkan sifat kikir, iri
hati, dan dengki baik dalam diri orang miskin maupun orang kaya.
Sahabat lain dari zakat adalah infaq
dan shadaqah. Infaq sasungguhnya merupakan kelebihan dari zakat yang harus
dikeluarkan oleh mereka yang kaya. Selain itu sebagai penyelamat kemiskinan
jika zakat belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Lembaga-lembaga shadaqah yang
berkembang oleh ajaran Islam saat ini bertujuan untuk menanamkan sosial dan
mengurangi penderitaan orang lain. Karena bentuk sedekah tidak hanya berupa
materi, tetapi juga dapat berbentuk jasa yang bermanfaat.
Baik infaq maupun shadaqah, keduanya
merupakan pengeluaran di luar zakat. Selain dapat membuktikkan ketaatan
pelakunya terhadap Penciptanya, namun dapat pula memperbesar alokasi pendapatan
sehingga terjadi pemerataan. Karena, dua hal tersebut dilakukan dalam batas
kemampuan masyarakat.
Instrumen lain yang tak kalah penting
adalah wakaf. Sayangnya, wawasan masyarakat tentang wakaf sangatlah tipis, sehingga
tertinggal dari yang lainnya. Padahal, wakaf sendiri memiliki peranan besar,
terutama dalam pembangunan masjid yang saat ini luar biasa pertumbuhannya di
Indonesia.
Wakaf diartikan menahan sesuatu benda
untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam. Wakaf mempunyai lembaga
badan sendiri yang bertugas mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian
wakaf serta semua kegiatan perwakafan supaya tercapai tujuan-tujuan yang
sesuai.
Secara garis besar, wakaf dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk membantu serta menyejahterakan masyarakat.
Selain itu, badan wakaf bisa bekerjasama dengan sejumlah perusahaan, membeli
saham dan obligasi. Bahkan, wakaf juga dapat berpartisipasi dalam mendirikan
bank-bank Islam.
Tidak sedikit negara-negara yang
dapat mengembangkan wakaf dan terbukti berhasil. Sebut saja, Mesir, Turki, Bangladesh,
Arab Saudi juga Yordania. Semua negara itu bisa membuktikkan bahwa wakaf dapat
berkembang secara baik dan produktif.
Jadi, sistem ZISWAF dalam ekonomi
Islam sebenarnya dapat berkembang dengan baik sekalipun bukan di Negara Islam.
Karena sebagai rahmatan lil’alamin, maka seluruh sistem dalam Islam termasuk
sistem ekonomi, dapat diterapkan dimanapun demi tercapainya keadilan dalam
kehidupan. Terutama keadilan dalam pendistribusian dan pengalokasian pendapatan.
Semua tertuang dalam ZISWAF, sebuah kebijakan fiskal yang lahir dari sebuah
kesempurnaan Islam.
Sumber Rujukan
An Introduction to The Sharia
Economic. Mohamad Hidayat. MBA. Jakarta. Zikrul Hakim (Anggota IKAPI). 2010.
Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam,
Mustafa Edwin Nasution dkk. Jakarta. Kencana. Cetakan kedua, Maret 2007.
Teori Ekonomi Makro, suatu pengantar.
Pratama Rahardja, Mandala Manurung. Jakarta. LP FE UI. 2008.
Teori Ekonomi Makro Islam. M. Nur
Rianto Al Arif, S.E., M.Si. Bandung. Penerbit Alfabeta. September 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar