Senin, 30 Januari 2012

Kebijakan Fiskal dalam Sejarah dan Peranan



Sejak awal, kebijakan fiskal sangat mendapat perhatian yang serius dalam ekonomi Islam. Bukan hanya sebatas untuk mengalihkan perekonomian agar lebih baik, tetapi juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, serta kepemilikan. Setidaknya, itulah yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali.
Terdapat perbedaan yang cukup jelas antara kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dengan konvensioanl. Jika dalam konvensional, Pemerintah mengandalkan sistem pajak sehingga menimbulkan benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan spiritual manusia. Selain itu, fiskal dalam ekonomi ini diperlukan juga untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang memperlambat jalannya perekonomian akibat mekanisme pasar.
Berbeda dengan konvensial, Islam menawarkan fungsi fiskal dalam hal pemeliharaan hukum, keadilan, serta pertahanan. Selain itu, berperan dalam perumusan dan pelaksanaan terhadap kebijakan ekonomi. Dua fungsi lain yaitu, sebagai manajemen kekayaan  pemerintah yang ada dalam BUMN dan juga sebagai intervensi ekonomi oleh pemerintah jika sewaktu-waktu diperlukan.
Fiskal Dalam Sejarah Islam
Sejak masa pemerintahan Nabi Muhammad, fiskal memiliki peranan penting dalam sistem ekonomi Islam. Akan tetapi, pada periode pertama ini, tidaklah serumit sistem anggaran negara modern saat ini, dan terkesan sederhana. Perbedaan ini disebabkan, karena secara fundamental kondisi sosial ekonomi yamg terus mengalami perubahan.
Peran penting pada masa ini dimainkan oleh Baitul Maal. Sebagai lembaga yang mengelola sumber penerimaan maupun pengeluaran negara. Baitul maal hanya mendapat keuntungan dari surplus yang tersisa dari keseluruhan biaya semua jasa setempat dan pembiayaan kemiliteran. Lembaga ini menganut asas anggaran berimbang (balance budget), bahwa semua penerimaan habis digunakan untuk pengeluaran negara. Jadi, anggaran menjadi surplus ketika penerimaan melebihi pengeluaran. Begitupun sebaliknya yang akan menyebabkan defisit.
Tidak jauh berbeda dengan sistem ekonomi pada masa Rasululllah, maka Abu Bakar dalam pemerintahannaya menggunakan prinsip kesamarataan. Prinsip ini digunakan terutama dalam hal mendistri busikan harta baitul maal tanpa membedakan antara sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dengan yang masuk Islam kemudian. Baitul maal akan langsung mendistribusikan harta kepada seluruh muslimin, sehingga harta tersebut tidak pernah bertumpuk lama dan tidak memiliki sisa.
Dalam masa ini, tidak ada yang dibolehkan hidup dalam kemiskinan. Kebijakan ini memunculkan peningkatan agregate demand dan agregate supply yang menyebabkan kenaikan total pendapatan nasional.
Agak sedikit berbeda dengan sebelumnya, sebagai pengganti Khlalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dalam mengatur administrasi negara mencontoh Persia. Yang diatur menjadi delapan wilayah propinsi.
Pada periode ini, didirikanlah bangunan lembaga baitul maal dan fungsinya diperluas menjadi lembaga yang regular dan permanen. Hal ini juga dakibatkan oleh oleh kedatangan gubernur Bahrain, Abu Hurairah yang membawa hasil pengumpulan pajak dalam jumlah besar.
Harta dalam baitul maal tidak dikeluarkan secara langsung secara keseluruhan, akan tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan keperluan dan kemudian disisakan untuk cadangan. Jika dipandang dari segi makro ekonomi, baitul maal dianggap sebagai kebijakan fiskal yang juga bertanggung jawab atas orang miskin, para janda, anak yatim dan lain-lain. Bahkan, dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada masyarakat yang membutuhkan..
Disebutkan dalam buku an introducton of the sharia ekonomic karya Mohamad Hidayat, dari sekian banyak kebijakan serta pembaharuan yang dilakukan khalifah Umar, ada sepuluh hal penting yang yang berhubungan dengan ekonimi dan fiskal, yaitu; Baitul Maal, kepemilikan tanah, zakat, ghamimah, ‘usr, jizyah, koin, klasifikasi pendapatan negara, pengeluaran dan mekanisme pasar.
Dengan tidak meninggalkan sistem baitul maal, Khalifah Utsman bin Affan juga tetap mempertahankan sistem pemberian bantuan dan santunan dalam bentuk sejumlah kepada masyarakat yang berbeda-beda. Beliau juga menerapkan kebijakan dengan memberikan tanah kepada individu-individu sebagai reklamasi dengan harapan agar baitul maal dapat meningkatkan pemasukannya.
Kemudian, dalam masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib mengutamakan prinsip pemerataan distribusi. Beliau juga mengembangkan aktivitas baitul maal. Pada periode ini, Ali mencetak mata uang sendiri yang memiliki khas dengan tidak meniru dinar Romawi.
Kekuatan baitul maal yang terjadi pada masa-masa Rasulullah maupun Khulafaurrasyidin, tidaklah terlepas dari pemungutan zakat yang menjadi nilai instrumental sistem ekonomi Islam.
ZISWAF, dalam Posisi dan Fungsi
Menurut Abdul Manan, kebijakan fiskal dalam konsep ekonomi Islam memiliki tujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama.
Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan komponen yang memiliki potensi untuk mengentaskan kemiskinan, memeratakan distribusi pendapatan, menciptakan stabilitas ekonomi yang harmonis serta menimbulkan implikasi nyang baik untuk kehidupan di akhirat.
Tersebutlah sebuah instrumen penting bersifat sukarela, zakat.  Zakat juga merupakan kebijakan fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah menerapkan distribusi pendapatan yang merata. Sedangkan konsep fiqh mengemukakan bahwa sistem zakat berusaha mempertemukan pihak surplus muslim dengan pihak defisit muslim. Kelompok defisit disebut mustahik, dan kelompok surplus adalah muzakki.
Sebenarnya, zakat merupakan sebuah instrumen dengan potensi yang sangat besar sehingga menjadi kekuatan dalam pemberdayaan ekonomi, dan sangat tidak mustahil berakhir dengan meningkatnya perekonomian bangsa. Tentu saja jika dikelola dengan baik dan tepat. Apalagi, jika ini dikombinasikan pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, harta terpendam, barang tambang, kekayaan laut, peternakan, harta emas/perak, harta simpanan, perdagangan, obligasi, investasi industri, dan lain sebagainya.
Tujuan lain dari zakat, yang sesuai dengan pendapat Abdul Manan antara lain; membina tali persaudaraan sesama, meningkatkan rasa tanggung jawab sosial serta menghilangkan sifat kikir, iri hati, dan dengki baik dalam diri orang miskin maupun orang kaya.
Sahabat lain dari zakat adalah infaq dan shadaqah. Infaq sasungguhnya merupakan kelebihan dari zakat yang harus dikeluarkan oleh mereka yang kaya. Selain itu sebagai penyelamat kemiskinan jika zakat belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Lembaga-lembaga shadaqah yang berkembang oleh ajaran Islam saat ini bertujuan untuk menanamkan sosial dan mengurangi penderitaan orang lain. Karena bentuk sedekah tidak hanya berupa materi, tetapi juga dapat berbentuk jasa yang bermanfaat.
Baik infaq maupun shadaqah, keduanya merupakan pengeluaran di luar zakat. Selain dapat membuktikkan ketaatan pelakunya terhadap Penciptanya, namun dapat pula memperbesar alokasi pendapatan sehingga terjadi pemerataan. Karena, dua hal tersebut dilakukan dalam batas kemampuan masyarakat.
Instrumen lain yang tak kalah penting adalah wakaf. Sayangnya, wawasan masyarakat tentang wakaf sangatlah tipis, sehingga tertinggal dari yang lainnya. Padahal, wakaf sendiri memiliki peranan besar, terutama dalam pembangunan masjid yang saat ini luar biasa pertumbuhannya di Indonesia.
Wakaf diartikan menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam. Wakaf mempunyai lembaga badan sendiri yang bertugas mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan perwakafan supaya tercapai tujuan-tujuan yang sesuai.
Secara garis besar, wakaf dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk membantu serta menyejahterakan masyarakat. Selain itu, badan wakaf bisa bekerjasama dengan sejumlah perusahaan, membeli saham dan obligasi. Bahkan, wakaf juga dapat berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam.
Tidak sedikit negara-negara yang dapat mengembangkan wakaf dan terbukti berhasil. Sebut saja, Mesir, Turki, Bangladesh, Arab Saudi juga Yordania. Semua negara itu bisa membuktikkan bahwa wakaf dapat berkembang secara baik dan produktif.
Jadi, sistem ZISWAF dalam ekonomi Islam sebenarnya dapat berkembang dengan baik sekalipun bukan di Negara Islam. Karena sebagai rahmatan lil’alamin, maka seluruh sistem dalam Islam termasuk sistem ekonomi, dapat diterapkan dimanapun demi tercapainya keadilan dalam kehidupan. Terutama keadilan dalam pendistribusian dan pengalokasian pendapatan. Semua tertuang dalam ZISWAF, sebuah kebijakan fiskal yang lahir dari sebuah kesempurnaan Islam.

Sumber Rujukan
An Introduction to The Sharia Economic. Mohamad Hidayat. MBA. Jakarta. Zikrul Hakim (Anggota IKAPI). 2010.
Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Mustafa Edwin Nasution dkk. Jakarta. Kencana. Cetakan kedua, Maret 2007.
Teori Ekonomi Makro, suatu pengantar. Pratama Rahardja, Mandala Manurung. Jakarta. LP FE UI. 2008.
Teori Ekonomi Makro Islam. M. Nur Rianto Al Arif, S.E., M.Si. Bandung. Penerbit Alfabeta. September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar