1. Otonomi Daerah
Otonomi
daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1]
Sedangkan
yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang mau tidak mau, suka tidak suka daerah harus lebih diberdayakan dengan cara daerah diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai
daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru
(OB) menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang
pemerintahan daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang
pemerintahan desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua
mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa,
secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi
kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi OB
untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong
lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor
internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme
di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan
internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya
investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Otonomi daerah
merupakan suatu wujud demokrasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah daerah untuk mengurus sendiri rumah tanggannya dengan tetap
berpegang kepada peraturan perundangan yang berlaku. Otonomi dijadikan sebagai
pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara
pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari daerah otonom menjadi Negara
dalam Negara. Daerah otonom adalah batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[2]
Otonomi Derah
membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengaktualisasikan
segala potensi terbaiknya secara optimal. Kebijakan untuk meningkatkan peranan
dan kemampuan pemerintah daerah di bidang ekonomi sebenarnya telah diupayakan
sejak awal dilakanakannya pembangunan di Indonesia, yakni, “ Mempercepat
pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku
dan potensi ekonomi daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik
maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah” (GBHN, 1999).
Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah
telah menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan
demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen
dari segi perkembangan politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi
tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan
keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai
jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi , namun sebagai upaya membangun
prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa,
maka otonomi daerah dapat menjadi “jalan alternative “ bagi tumbuhnya harapan
bagi kemajuan daerah.
Namun demikian, otonomi daerah juga tidak sepi dari kritik. Beberapa
diantaranya adalah; (1) masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan
yang ditandai dengan korupsi “berjamaah” di berbagai kabupaten dan propinsi
atas alasan apapun. Bukan hanya modus operandinya yang berkembang, tetapi juga
pelaku, jenis dan nilai yang dikorupsi juga menunjukkan tingkatan yang lebih
variatif dan intensif dari masa-masa sebelum otonomi diberlakukan. (2)
persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan
(atas nama) Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi sumber daya alam untuk
memperbesar PAD berlangsung secara masif ketika otonomi daerah di berlakukan.
Bukan hanya itu, alokasi kebijakan anggaran yang dipandang tidak produktif dan
berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat juga marak diberbagai daerah. (3)
persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara pemerintah propinsi dan
kabupaten. Otonomi daerah yang berada di kabupaten menyebabkan koordinasi dan
hirarki kabupaten propinsi berada dalam stagnasi. Akibatnya posisi dan peran
pemerintah propinsi menjadi sekunder dan kurang diberi tempat dari kabupaten
dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya menyangkut hubungan
antara propinsi dan kabupaten, tetapi juga antara kabupaten dengan kabupaten.
Keterpaduan pembangunan untuk kepentingan satu kawasan seringkali macet akibat
dari egoisme lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik
lingkungan atau sumber daya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah
gambaran bagaimana otonomi hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan
primordial. (4) persoalan yang berhubungan dengan hubungan antara legislatif
dan eksekutif , terutama berkaitan dengan wewenang legislatif. Ketegangan yang
seringkali terjadi antara legisltif dan eksekutif dalam pengambilan kebijakan
menyebabkan berbagai ketegangan berkembang selama pelaksanaan otonomi.
Legislatif sering dituding sebagai penyebab berkembangnya stagnasi politik
ditingkat lokal.[3]
2. Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah
suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang
ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor
swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.
Pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan
solusi jangka pendek dan jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi daerah yang
dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan ekonomi
daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Dua prinsip
dasar pengembangan ekonomi daerah yang perlu diperhatikan adalah (1) mengenali
ekonomi wilayah dan (2) merumuskan manajemen pembangunan daerah yang
pro-bisnis.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada
penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada
kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan
menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik
secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan
inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan
untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.
Setiap upaya pembangunan ekonomi
daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja
untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tesebut, pemerintah
daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan
daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta daerah beserta partisipasi
masyarakatnya dan dengan dengan menggunakan sumberdaya yang ada harus menafsir
potensi sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian
daerah.
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah
bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya
publik yang tersedia didaerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor
swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya swasta secara bertanggung jawab.
Setidaknya ada tiga implikasi dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah,
yaitu:[4]
Pertama, perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistik memerlukan
pemahaman tentang hubungan antar daerah dengan lingkungan nasional dimana
daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara
keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut.
Kedua, sesuatu yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik
untuk daerah, begitu pula sebaliknya.
Ketiga, perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah biasanya
sangat berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Hal
itu juga terjadi pada derajat pengendalian kebijakan.
[4]
Arsyad, Lincolin. Ekonomi Pembangunan Edisi Keempat. Bagian Penerbitan
STIE YKPN. Yogyakarta: 2004. Hal 307